Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saat-saat Awal di Madinah

 

Kisah.web.id

Unta yang  dinaiki  Nabi  alaihi  ssalam  berlutut  di  tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Dalam membangun mesjid itu  Muhammad  juga turut  bekerja  dengan  tangannya  sendiri. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat  tinggal  Rasul.  Baik  pembangunan  mesjid maupun  tempat-tempat   tinggal   itu  tidak  sampai  memaksa seseorang,  karena  segalanya  serba  sederhana,   disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Muhammad.


Selesai  Muhammad  membangun  mesjid  dan  tempat-tinggal,  ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini.  Sekarang  terpikir olehnya  akan adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya itu harus  menginjak  langkah baru  lebih  lebar.   Segala tujuan  dan  daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah meneruskan risalah,  yang  penyampaiannya  telah  dipercayakan Tuhan  kepadanya,  dengan  mengajak dan memberikan peringatan.




Penduduk Yathrib pada waktu itu  terdiri  dari kaum  Muslimin  -  Muhajirin  dan Anshar - orang-orang musyrik dari  sisa-sisa  Aus  dan  Khazraj  -  sedang  hubungan  kedua golongan   ini   sudah   sama-sama   kita   ketahui;  kemudian orang-orang  Yahudi:  Banu  Qainuqa  di  sebelah  dalam,  Banu Quraiza  di  Fadak,  Banu’n-Nadzir  tidak  jauh  dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.


Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar,  karena  solidaritas  agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran  dalam  hati  Muhammad  belum  hilang   samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali  timbul.  Sekarang  terpikir  olehnya   bahwa   setiap keraguan  semacam itu harus dihilangkan.


Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa  Aus  dan  Khazraj, akibat  peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi  itu. 




Selanjutnya golongan Yahudi dengan tiada  ragu-ragu  merekapun menyambut  baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan  sekaligus  merangkulnya  ke  pihak mereka,  serta  dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah  Arab.  Dengan  demikian  mereka   akan   dapat   pula membendung   Kristen,  yang  telah  mengusir  Yahudi,  -bangsa


pilihan Tuhan - dari  Palestina,  Tanah  yang  Dijanjikan  dan tanah air mereka itu.


 


Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu  Abu  Bakr dan  Umar. Yang menjadi pokok pikirannya yang  mula-mula  ialah  menyusun barisan  kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala  bayangan  yang  akan  membangkitkan  api permusuhan  lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini  diajaknya  kaum   Muslimin   supaya   masing-masing   dua bersaudara,  demi  Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi  Talib.  Hamzah  pamannya  bersaudara  dengan  Zaid  bekas budaknya.  Abu  Bakr  bersaudara  dengan Kharija b. Zaid. Umar ibn’l-Khattab, bersaudara dengan ‘Itban b. Malik  al-Khazraji.




Demikian  juga  setiap  orang  dari  kalangan  Muhajirin  yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib  -  sesudah  mereka yang  tadinya  masih  tinggal  di  Mekah  menyusul  ke Medinah setelah Rasul hijrah  -  dipersaudarakan  pula ; dengan  setiap orang  dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah  senasib.  Dengan  persaudaraan  demikian  ini persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.


 


Ternyata  kalangan  Anshar memperlihatkan sikap keramahtamahan yang luarbiasa terhadap saudara-saudara mereka kaum  Muhajirin ini,  yang  sejak  semula  sudah  mereka  sambut  dengan penuh gembira. Abdur-Rahman b. ‘Auf yang sudah bersaudara dengan Sa’d  bin’r-Rabi’  ketika di  Yathrib  ia  sudah  tidak  punya apa-apa lagi. Ketika Sa’d menawarkan hartanya akan dibagi dua, Abdur-Rahman menolak.  Ia hanya  minta  ditunjukkan  jalan  ke  pasar. Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju.  Dalam  waktu  tidak  berapa lama,  dengan  kecakapannya  berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan dapat pula memberikan  mas-kawin  kepada salah   seorang   wanita   Medinah.   Bahkan  sudah  mempunyai kafilah-kafilah yang pergi  dan  pulang  membawa  perdagangan.


Selain Abdur-Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan hal serupa itu.


 


Adapun   mereka  yang  tidak  melakukan  pekerjaan  berdagang, diantaranya ialah  Abu  Bakr,  Umar,  Ali  b.  Abi  Talib  dan lain-lain.  Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam pertanian, menggarap  tanah   milik   orang-orang   Anshar   bersama-sama pemiliknya.   Tetapi   selain   mereka  ada  pula  yang  harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup.  Sungguhpun  begitu, mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Merekapun membanting  tulang  bekerja,  dan  dalam  bekerja  itu  mereka merasakan  adanya ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.


 


Di samping itu  ada  lagi  segolongan  orang-orang  Arab  yang datang  ke  Medinah  dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara  mereka yang   tidak  punya  tempat  tinggal.  Bagi  mereka  ini  oleh Muhammad disediakan tempat di  selasar  mesjid  yaitu  shuffa [bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat tinggal mereka.  Oleh  karena  itu  mereka  diberi nama Ahl’sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari  harta  kaum  Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupan.


 


Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang Yahudi, Muhammad membuat suatu perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik, antara lain (yang penting) adalah sebagai berikut:


 


“Bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan hutang yang berat diantara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan atau membayar diat.


 ”Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya.


 ”Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri.


 ”Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman.


 ”Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan; tidak menganiaya atau melawan mereka


 ”Bahwa persetujuan damai orang-orang beriman itu satu; tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri denganmeninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil adanya.


 ”Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami, satu sama lain harus saling bergiliran.


  “Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti maka ia harus mendapat balasan yang setimpal kecuali bila keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan).


 ”Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama-sama orang-orang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang.


“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum Musliminpun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini.


  “Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan perang.


 ”Bahwa tempat yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa ijin penduduknya.


 ”Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yathrib ini. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu.


 ”Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.






Demikianlah, seluruh kota Medinah dan sekitarnya telah benar-benar jadi terhormat bagi seluruh penduduk. Mereka berkewajiban mempertahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang dari luar. Mereka harus bekerja sama antara sesama mereka guna menghormati segala hak dan segala macam kebebasan yang sudah disetujui bersama dalam dokumen ini


 


Pada masa ini, Muhammad menyelesaikan perkawinannya dengan Aisyah bt. Abi Bakr, yang waktu itu baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Ia adalah seorang gadis yang lemah-lembut dengan air muka yang manis dan sangat disukai dalam pergaulan. Ketika itu ia sedang menjenjang remaja puteri, mempunyai kegemaran bermain-main dan bersukaria.




Dalam suasana kaum Muslimin yang sudah mulai tenteram menjalankan tugas-tugas agama itu, pada waktu itu kewajiban zakat dan puasa mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yathrib inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Bila ketika itu waktu-waktu sembahyang sudah tiba, orang berkumpul bersama-sama tanpa dipanggil. Lalu terpikir akan memanggil orang bersembahyang dengan mempergunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Tetapi dia tidak menyukai terompet itu. Lalu dianjurkan mempergunakan genta, yang akan dipukul waktu sembahyang, seperti dilakukan oleh orang-orang Nasrani.


 


Tetapi kemudian sesudah ada saran dari Umar dan sekelompok Muslimim - menurut satu sumber, - atau dengan perintah Tuhan melalui wahyu, menurut sumber lain - penggunaan genta inipun dibatalkan dan diganti dengan azan. Selanjutnya diminta kepada Abdullah b. Zaid b. Tha’laba:


 


“Kau pergi dengan Bilal dan bacakan kepadanya - maksudnya teks azan - dan suruh dia menyerukan azan itu, sebab suaranya lebih


merdu dari suaramu.”




Landasan pertama yang diajarkan Rasulullah SAW ialah persaudaraan umat manusia: persaudaraan yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan sebelum persaudaraan demikian itu dapat mencapai kebaikan dan rasa kasih-sayang tanpa suatu sikap lemah dan mudah menyerah. Ada orang yang bertanya kepada Muhammad;


“Perbuatan apakah yang baik dalam Islam?”


Dijawab:


“Sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.”


Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar bagi seluruh umat manusia tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit; kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui kesukaran lalu


binatang itu ditarik-tariknya, iapun ditegurnya: “Hendaknya kau berlaku lemah-lembut.” Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.


 


Disinilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebahagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada keadilan disamping persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.


 


“Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu.” (Qur’an, 2: 194)


 


“Dengan hukum qishash berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti.” (Qur’an, 2: 179)


 




Ada seorang rabbi yang cerdik-pandai, yaitu Abdullah b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi iapun lalu memeluk Islam; dan dianjurkannya pula keluarganya. Lalu merekapun bersama-sama memeluk agama Islam.


 


Abdullah bin Sallam merasa kuatir akan ada kata-kata yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang Yahudi jika mereka mengetahui ia sudah menganut Islam. Maka dimintanya kepada Nabi untuk menanyai mereka tentang dirinya itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia sudah Islam. Ternyata mereka berkata: dia pemimpin kami, pendeta kami dan orang cerdik-pandai kami. Setelah Abdullah berhadapan dengan mereka dan sekarang jelas sudah sikapnya, bahkan mengajak mereka menganut ajaran Islam, merekapun merasa kuatir akan nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu iapun mulai difitnah dan diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh. Dalam hal ini mereka lalu sepakat akan berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Secepat itu pula sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj serta mereka yang pura-pura masuk Islam segera menggabungkan diri dengan mereka, baik karena mau mengejar keuntungan materi atau karena mau menyenangkan golongannya atau pihak yang berpengaruh


 


Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih bengis dan lebih licik daripada perang polemik yang dulu pernah terjadi antara dia dengan orang-orang Quraisy di Mekah. Mereka mengadakan intrik melalui pendeta-pendeta mereka yang pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke tengah-tengah kaum Muslimin dengan pura-pura sangat takwa sekali, yang kemudian lalu sekali-kali memperlihatkan kesangsian dan keraguannya.




Tidak cukup dengan maksud mau menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus dengan Khazraj dan tidak pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya meninggalkan agamanya dan kembali menjadi syirik tanpa mencoba-coba mengajak mereka menganut agama Yahudi, bahkan lebih dari itu orang Yahudi itu kini berusaha memperdaya Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka datang menemuinya dengan mengatakan: “Tuhan sudah mengetahui keadaan kami, kedudukan kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang Yahudipun akan juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya antara kami dengan beberapa kelompok golongan kami timbul permusuhan. Lalu kami datang ini minta keputusan tuan. Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan percaya kepada tuan.”


 


Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:


 


“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan kauturuti hawa-nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka. Jangan sampai mereka memperdayakan kau dari beberapa peraturan yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu. Tetapi kalau mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan bencana kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga. Sesungguhnya, kebanyakan manusia itu adalah orang-orang fasik. Adakah yang mereka kehendaki itu hukum jahiliah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang yakin?” (Qur’an, 5: 49-50)


Waktu sedang sengit-sengitnya terjadi polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, delegasi pihak Nasrani dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enampuluh buah kendaraan. Diantara mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang sudah mempelajari dan menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu penguasa-penguasa Rumawi yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan kedudukan, memberikan bantuan harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan gereja-gereja dan kemakmuran buat kaum Nasrani Najran itu.




Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya dengan Nabi serta dibukanya kancah pertarungan theologis yang sengit antara orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang berkumpul. Dari pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali ajaran Isa dan Muhammad, yang dasarnya karena sikap keras kepala. Sedang pihak Nasrani, paham mereka adalah Trinitas dan menuhankan Isa. Sebaliknya Muhammad, ia mengajak orang kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah diatur oleh alam sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi - sejak dunia ini berkembang sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan


Nasrani itu bertanya kepadanya, kepada siapa-siapa diantara para rasul itu ia beriman. Ia menjawab:


 


“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkanNya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kamipun patuh kepadaNya.” (Qur’an 2: 136)

Posting Komentar untuk "Saat-saat Awal di Madinah"